Berau adalah kabupaten yang memiliki tambang batu bara di Tanjung Redeb, Kalimantan Timur. Pertama kali saya berkunjung ke sana sekitar bulan September 2015 karena ada urusan keluarga yang mendadak.
Saya terbang dari bandara Soekarno Hatta pagi hari menggunakan Lion Air dan tiba di Balikpapan on time. Saya harus melanjutkan penerbangan baru sekitar 55 menit dari Balikpapan ke Berau menggunakan pesawat Sriwijaya Air. Di benak teman-teman saya, saya bepergian ke lokasi terpencil. Selesai melakukan update status Facebook bahwa saya sudah tiba di Bandara Internasional Sepinggan, Balikpapan, komentar pertama yang masuk adalah : Semoga nggak nemu jalan pulang ya say. Ini cukup membuat saya tersenyum geli.
Kelanjutan penerbangan ke Berau, semua penerbangan mengalami delay. Menurut info karena adanya kabut asap pembakaran hutan yang menghalangi jarak pandang penerbangan. Saya menunggu dengan sabar sampai tiba waktunya saya harus terbang. Di dalam pesawat Sriwijaya saya temui banyak pedagang yang berasal dari Makassar. Mereka ramai bercerita satu sama lainnya. Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Kalimarau. Beberapa saat sebelumnya saya mengagumi hutan belantara nun jauh di bawah sana. Di Bandara Kalimarau ini, pemerintah sudah membenahi sehingga cukup rapi dan terlihat masih baru dan bersih. Desain arsitekturnya juga keren dan modern. Kontras dengan sekeliling bandara masih dipenuhi hutan. Ini mengingatkan saya kepada kampung masa kecil di Sulawesi, yaitu Soroako, kota kecil yang dikenal dengan tambang nikelnya. Rasanya saya kembali ke masa kecil dengan waktu dan tempat yang berbeda.
Setelah urusan pengambilan bagasi selesai, saya memesan mobil yang akan membawa saya ke rumah adik saya di Bedungun. Dengan membayar ongkos sebesar Rp. 70.000 maka sampailah ke tempat tujuan. Bahagia sekali saya bisa bertemu dengan ipar saya kembali dan keponakan yang manis-manis.
Cuaca saat itu sangat panas. Setelah sekian hari hujan akan turun. Adik dan ipar saya punya kebun hidroponik di pekarangan. Ada kangkung, selada, dan pakcoy. Saya menikmati waktu menanam dan panen. Saya baru tahu kalau sayuran hasil hidroponik itu tetap renyah dan segar sekalipun tidak dimasukkan ke kulkas.
Saya membawa pekerjaan dari Jakarta namun terkendala dengan koneksi internet yang tidak berfungsi di Bedungun. Jadi saya harus pergi ke warnet yang ada di kota. Saya melihat banyak warung hidangan Bugis dan Makassar yang dijual. Jadi saya merasa seolah-olah saya sedang ada di Makassar.
Penduduk di sana ramah-ramah. Tidak ada macet. Sehingga mobilisasi sejauh apapun membuat saya enjoy. Mobil Ranger 4WD juga banyak di sana. Mobil yang bisa diandalkan untuk daerah perbukitan dan tambang. Umumnya mobilisasi menggunakan mobil dan motor pribadi. Angkot ada tapi sedikit sekali dan hanya dinaiki paling banyak 4 penumpang saja dengan rute jauh.
Ruang warnet masih sederhana dan toilet apa adanya. Gayungnya bolong dan dalam ember air, ada pakaian yang direndam. Nasib. Saat itu saya mules karena mengkonsumsi teh daun jati belanda. Apa boleh buat.
Karena tidak nyaman dengan kondisi warnet saya melanjutkan pekerjaan ke toko komputer pemilik warnet. Kendala lain dia tidak punya meja untuk bekerja. Jadi saya menaruh laptop di atas etalase kaca dan mengetik selama 3,5 jam tanpa duduk. Sekalipun pemilik toko menawarkan kursi plastik yang pendek. Si bapak terheran-heran melihat saya tahan berdiri dan fokus bekerja selama itu dan baru tahu kalau melakukan pekerjaan tidak harus di kantor. Baiknya si bapak ketika saya mau membayar, harganya diberi diskon. Namun saya tolak dan tetap memberikan uang sesuai tarif.
Kalau berbelanja kosmetik seperti hand and body lotion, periksalah kemasan botol plastiknya. Karena beberapa toko sering menggunakan botol bekas dan diisi dengan lotion yang entah masih baru atau sudah kadaluarsa.
Setiap pagi dan sore saya naik sepeda keliling kampung. Selalu ada kabut asap. Karena saat itu musim pembakaran hutan untuk membuka lahan kelapa sawit. Lahan gambut mudah sekali terbakar.
Suatu hari keponakan saya membawa pulang batu akik solar temuannya. Saya memintanya untuk koleksi. Warnanya seperti kue talam ubi.
Banyak kios batu akik bisa dijumpai di kota. Bahkan jika bepergian
dengan mobil sewaan, saya sering melihat pohon melinjo di pinggir jalan
hutan. Daun dan buahnya tidak digemari oleh penduduk di sana.
Suatu pagi setelah pulang berkeliling dari padang golf, saya melihat sekelompok pria membawa hasil buruan seekor rusa di atas mobil bak terbuka. Ngeri juga lihatnya.
Berau juga punya dermaga yang bersih. Saya menikmati hilir mudiknya kapal tongkang yang bersandar atau kapal yang khusus membawa hasil tambang batu bara. Pemandangan yang sangat alami dan mengesankan. Saya tidak pergi ke Pulau Derawan karena kuatir kulit menjadi gosong. Hopefully someday.
Saat persiapan pulang kembali ke Jakarta saya menyempatkan diri membeli oleh-oleh khas Berau. Karena oleh-oleh berupa bahan makanan dan snack lebih cocok ke semua orang, maka saya memborongnya di sebuah toko kelontong yang mungkin merupakan distributor karena banyak pedagang yang membeli dengan membawa mobil pickup.
Salah satu ciri oleh-oleh ciri khas Kalimantan adalah semacam krupuk yang disebut kuku macan atau amplang. Pembuatannya kalau secara tradisional agak rumit, menurut saya ya. Rasanya gurih karena menggunakan daging ikan, bawang putih, dan bumbu lain.
Saat menunggu dijemput oleh ipar saya, pemilik toko membagi-bagikan potongan semangka kuning kepada kami para pembeli. Saya terkesan akan keramahan ini. Apalagi saat itu cuaca sedang panas terik.
Saya menikmati hari-hari terakhir di Berau. Sebenarnya saya suka ketenangan suasana dan alamnya. Jujur saya tidak merasa stress saat di sana.
Kabut asap masih terus ada. Saya sudah booking Wings Air dari Berau ke Balikpapan dan Citilink dari Balikpapan ke Jakarta. Namun sekitar H-2, Wings Air memberi info untuk memundurkan jadwal penerbangan. Akhirnya saya membatalkan penerbangan tersebut dan menggantinya dengan maskapai Garuda pesawat kecil.
Tiba saatnya untuk kembali. Berat rasanya. Setibanya di Bandara Kalimarau dan selesai check in, petugas Garuda menyampaikan bahwa penerbangan delay tanpa kepastian karena asap dari hutan semakin tebal. Banyak penumpang yang menunggu termasuk wisatawan. Sedangkan Sriwijaya Air sudah lebih dulu terbang dengan jadwal lebih pagi. Ini menyebalkan karena saya ketinggalan Citilink dan tidak ada kompensasi sebab di Balikpapan tidak ada kabut asap.
Sambil menunggu, saya menghabiskan waktu di toko cindera mata dan berkenalan dengan pemiliknya juga teman baru satu rombongan dari dinas pariwisata Jakarta. Beberapa hari yang lalu memang ada pameran batu akik dan kerajinan tangan di area Expo Berau. Kami bertukar informasi penting.
Saya rupanya salah memilih maskapai penerbangan, dalam arti dengan kondisi asap seperti ini, rute Berau - Balikpapan - Jakarta, sebaiknya menggunakan Sriwijaya Air. Karena beberapa hari itu Sriwijaya terbang terus. Menurut info karena body nya besar sehingga berani terbang sekalipun masih ada kabut asap. Atau menggunakan Wings Air dan Lion sehingga jika ada delay, uang penerbangan tidak hangus karena masih satu maskapai. Kita bisa jadwalkan ulang. Ini adalah pelajaran baru buat saya dan penumpang lain.
Hari itu penumpang yang menggunakan pesawat kecil tidak bisa diberangkatkan. Entah bagaimana nasib para wisatawan.
Rombongan pariwisata tetap ngotot harus kembali ke Jakarta karena rangkaian tugas sudah menanti. Mereka menyewa mobil dan tiba besok siang di Bandara Sepinggan. Saya diajak bergabung, namun saya putuskan untuk pulang kembali ke rumah adik. Belum pernah punya pengalaman seperti itu sebelumnya. Walaupun kecewa tidak bisa kembali ke Jakarta, uang pesawat dari Balikpapan ke Jakarta hangus, namun saya masih bersyukur bahwa penerbangan tidak mengambil resiko. Saya masih ada kesempatan untuk bersama-sama lagi dengan ipar dan keponakan. Adik saya bekerja di Laos.
Saat kembali ke rumah adik, keponakan saya yang paling kecil loncat kegirangan menyambut kedatangan saya. Sungguh respon dan ekspresi yang natural. Anak kecil selalu jujur. Mungkin dia kegirangan karena kita bisa bersepeda bareng lagi.
Penerbangan saya terealisasi dua minggu kemudian. Tetap menggunakan Garuda yang dijadwal ulang. Sedangkan dari Balikpapan ke Jakarta, saya membeli tiket Lion Air secara Go Show dan syukurlah dengan harga normal. Padahal calo-calo berlomba menawarkan tiket jualan mereka. Akhirnya saya tiba kembali di Jakarta dengan selamat. Suatu saat saya akan kembali lagi berkunjung ke Berau.
Rencananya tahun 2018 akan diresmikan hutan mangrove sebagai daya tarik bagi wisatawan dan mendongkrak pendapatan daerah. Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat mengembangkan usaha ini sebagai program untuk daerah pesisir. Kampung Semanting memiliki lahan sebesar 200 hektar yang ditanami 1.500 pohon mangrove. Sedang dibangun jembatan penghubung serta sarana menangkap kepiting dan kerang.
Terima kasih teman-teman sudah membaca artikel traveling ini. Semoga bermanfaat dan bisa mengunjugi Berau seperti saya someday.
Salam blogger,
Merry
Saya dedikasikan artikel ini untuk keluarga tercinta di Berau : James, Yuliana, Della, Elgin "Jello"
Komentar